dalam kebersamaanpun
kita tetap sendiri, bukan?
sendiri dengan pikiran kita, masing-masing
dalam syuropun
kita tetap sendiri, bukan?
sendiri dengan pertanggungjawaban yang kita tanggung
dari keputusan yang kita ambil
dalam menatap masa depan
kita juga sendiri, bukan?
sendiri dengan langkah yang kita ambil
arah mana yang kita tuju
dalam keluargapun
kita tetap sendiri, bukan?
sendiri dengan diri kita masing-masing
atas langkah yang kita tapak
dan pertanggung jawabannya
mereka cuma bisa memberi masukan
mereka hanya bisa support
layaknya sebuah pertandingan
mereka adalah pelatih
atau suporter
penentu hasil akhir pertandingan adalah sang pemain
bukan mereka
kita menatap masa depan kita sendiri
menentukan langkah kita sendiri
mengambil keputusan kita sendiri
dan mempertanggung jawabkannya sendiri
:: eagle flies alone
posted by : irfun
Kemarin meeting dan makan siang di Ritz Carlton Hotel. Sebuah gedung yg menawarkan 'kenyamanan borjuis', yg bagiku berarti 'loneliness'. Tapi bukan itu yg hendak kita bicarakan.
Sebagaimana standart hotel kelas demikian, pelayan selalu ada untuk kita. Dan diantaranya mbak yang berbaju merah cerah itu. Dengan rok panjang sewarna, dengan belahan di samping hingga di atas lutut. Dia selalu ramah tersenyum. Saat membukakan pintu ballroom, juga ketika menyodorkan Caffe Latte, bahkan ketika sekedar berpapasan saat aq berjalan ke Rest Room. Siapa tidak senang diberi senyuman ??
Senyum demikian juga ada di Marriot, begitupun di Pangeran Pekanbaru, atau di Sengingi Beach. Atau di hotel2 lain sepanjang yang pernah aku inapi. Menariknya, semakin mahal hotelnya, semakin banyak senyum yang aku dapati. Semakin manis, dan semakin (kelihatan) tulus. Maka tak heran hotel di pinggiran Riau yg saat pagi menggedor pintu untuk memberikan teh hangat, murah saja sewanya.
Maka senyum apakah itu? Marx ketika membahas lahirnya nilai tukar menyebut proses KOMODIFIKASI, berubahnya segala sesuatu hal dr sesuatu yg tidak diperjualbelikan menjadi komoditi. Mulai dari layanan santet sampai sex. Maka di dunia modern ini segala sesuatu menjadi komoditi: senyum, keramahan, persahabatan, pernikahan, ....... Bagaimana kemudian memilahkan mereka mereka yang tulus? tentu tidak fair kalo kita katakan ketulusan itu tak lagi tersisa